Total Tayangan Halaman

Jumat, 16 Desember 2011

KEPEMIMPINAN DAN PERAN PEMIMPIN


Rasidin, SPD.,MPA

Pencapaian tujuan sebuah organisasi, baik organisasi yang berskala kecil maupun berskala besar, sangat ditentukan oleh pemimpin organisasi tersebut. Seorang pemimpin organisasi seringkali dijadikan sebagai sentral dari semua kebijakan organisasi. Atas dasar ini, maka kepemimpinan dalam sebuah organisasi sangat urgen dalam menentukan arah tujuan, visi dan misi organisasi. Beberapa ahli telah memberikan definisi kepemimpinan. 

Jika Anda butuh konsep ini, silahkan klik disini



Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PTK

          Untuk menyusun / membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) seorang guru harus memperhatikan langkah-langkah berikut :

JUDUL :
Judul PTK hendaknya dinyatakan dengan akurat dan padat permasalahan serta bentuk tindakan yang dilakukan peneliti sebagai upaya pemecahan masalah. Formulasi judul hendaknya singkat, jelas, dan sederhana namun secara tersirat telah menampilkan sosok PTK bukan sosok penelitian formal. Judul ditulis di halaman judul yang dilengkapi dengan identitas peneliti (nama dan NIP guru), lembaga/satuan pendidikan tempat guru bekerja, dan bulan serta tahun penulisan PTK.

Butuh file selengkapnya, silahkan download







Kamis, 24 November 2011

SAP Teori Pembangunan

SATUAN ACARA PERKULIAHAN
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2011/2012
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

-            Mata Kuliah                      : Teori-Teori Pembangunan
-            No. Kode MK                  :
-            Bobot SKS                       : 3 (Tiga)
-            Semester                           : 3 (Tiga)
-            Fak./Prodi/Program           : FISIPOL / Ilmu Pemerintahan  / S-1
-            Jadwal Kuliah                    : Mid Tes;        - Rabu, 9 November 2011
- Jumat, 11 November 2011
  Final Tes;       - Selasa, 20 Desember 2011
- Kamis, 22 Desember 2011
-            Jam Perkuliahan                 : 10.30 – 13.30  Wita.
-            Dosen Pengampu               : 1. Dra. Suryani BB, M.Si
   2. Drs.Rasidin, MPA
                                                  

  Rencana Jadwal Kuliah Mingguan :
Per-temuan
Ke,
Tgl.
Dosen Pengampu
Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan
Metode/ Kegiatan





1






9
Nov’11






Dra. Suryani, M.Si
A. Pengertian dan Ruang
     Lingkup teori Pembangunan
1.    Pengertian Pembangunan
2.    Ruang Lingkup Pembangunan
3.    Konsep-konsep pembangunan
4.    Paradigma dan teori Pembangunan




Ceramah, Diskusi,  Tanya jawab, dan penugasan

B.  Peran Negara dan Masyarakat dalam pembangunan ;
1.    Pembanguna di dunia ketiga
2.    peran Negara/pemerintah dalam pembangunan
3.    Peran masyarakat sebagai pelaku pembangunan





2





11
Nov’11




Dra. Suryani, M.Si
C.  Perkembangan Teori Pembangunan ;
1.    Perkembangan teori Pembangunan
2.    Dasar Pemikiran dan pencetus teori-teori Pembangunan

Ceramah, Diskusi, Tanya jawab, dan Penugasan
(Pemberian Soal Mid Tes).
D. Teori Modernisasi
1.    Teori Harrod-Domar: Taabungan dan Insvestasi
2.    Max Weber:Etika protestan
3.    Teori David McClelland: Dorongan Berpr estasi atau n-Ach.
4.    W.W.Rostow:Lima Tahap Pembangunan
5.    Bert F. Hoselitz:Faktor-faktor Non-ekonomi
6.    Alex Inkelas dan David H. Smith: Manusia modern




3




20 Des’11




Drs. Rasidin, MPA
E. Teori struktual ;
1.    Raul Prebisch (ekonomi liberal)
2.    Teoriteori Marxis tentang imperalisme dan kolonialisme dan Paul Baran


Ceramah, Diskusi, dan Tanya jawab, Penugasan

F. Teori Ketergantungan ;
1.    Teori Ketergantungan Klasik
2.    Kritik Terhadap Teori Ketergantungan
G. Teori Pasca Ketergantungan ;
1. Teori Sistem Dunia
2. Teori Liberal
3. Teori Artikulasi
4. Teori Neo-Liberalisme

        4
22 Des’11


Drs. Rasidin, MPA
H. Teori Pembangunan
     Berkelanjutan ;
1.    Prinsip lingkungan/ekologi (perlindungan ekosistem)
2.    Prinsip sosio-politik (memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan; keterlibatan masyarakat; pemerintahan yang transparan)
Ceramah, Diskusi, Tanya jawab, dan Penugasan
(Pemberian Soal  Final Tes).




I.   Teori Pembangunan Manusia ;
1. Pemberdayaan (empowerment)
2. kerjasama (cooperation)
3. Kesetaraan (equity)
4. Keberlangsungan (sustainability)
5. Keamanan (security)


                                                                                                  Kendari,     November  2011
                                                                                                  Ttd,


                                                                                                  Dosen Pengampu  MK

NETRALITAS BIROKRASI PADA PEMILU DI INDONESIA


A.  Permaslahan

Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi pemerintahan. Proses transisi ini telah menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya.
Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi (bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya tanggung jawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan sosial.  Masalah politisasi birokrasi tetap menjadi isu krusial dalam pemilihan umum khususnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kekhawatiran publik terhadap keberpihakan birokrasi memang tidak berlebihan karena institusi ini sangat rentan dan mudah menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Terbukti masalah netralitas ini kembali marak dipertanyakan ketika muncul isu terjadinya mobilisasi PNS di Bali dalam rangka kampanye PDI-P menjelang pemilu legislatif bulan April 2004. Bahkan makin mencuat lagi ketika disinyalir adanya kampanye terselubung birokrat untuk mendukung salah satu calon presiden dalam pemilu putaran kedua, 20 September 2004 yang lalu.
Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwa Undang-undang dan peraturan tentang birokrasi/PNS ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah upaya penyelewengan fungsi birokrasi. Kecenderungan birokrat atau partai yang memerintah (apapun partainya) untuk menggunakan mesin birokrasi sebagai alat yang efektif untuk mendapatkan dukungan suara dalam pilkada sulit dicegah. Peluang reformasi birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan yang tidak pernah absen untuk senantiasa menggunakan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pilkada.
Dengan sistem multi partai tidak tertutup kemungkinan konflik kepentingan di birokrasi akan makin menajam. Selain itu, gambaran belakangan ini menunjukkan bahwa disorientasi PNS ternyata masih berlangsung, PNS cenderung bersikap pragmatis dan memihak partai yang berkuasa. Hal ini bila diteruskan akan menghilangkan makna birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat dan bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, prospek reformasi birokrasi pasca pemilu 2004 tergantung seberapa besar komitmen elit birokrat dan pimpinan negara untuk mereformasi birokrasi, sehingga mampu menghapus kesan bahwa komitmen mereka cenderung longgar dan pragmatis.
Lepas dari tantangan besar yang masih dihadapi birokrasi untuk menjadi profesional, netral, akuntabel dan partisipatif, secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi di era transisi cenderung menciptakan birokrasi yang plural yang ditandai dengan makin pluralnya sistem politik di mana sistem ini lebih terbuka terhadap pengaruh kekuatan sosial (societal forces) dalam masyarakat. Salah satu indikator penting dari ciri pluralisme birokrasi adalah tak satu pun kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah tak mendapatkan sorotan atau kritikan dari masyarakat. Meskipun tak semua keberatan publik dapat menggagalkan kebijakan pemerintah, namun sebagian terpaksa mengalami penundaan karena resistensi yang besar dari masyarakat. Penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia yakni pemilihan umum legislatif (DPR, DPD, DPRD Prov & DPRD Kab/Kota) diberbagai daerah sangat jelas diwarnai dengan keterlibatan para pegawai negeri sipil yang terang-terangan melakukan kampanye politik tanpa mempedulikan berbagai aturan yang sangat jelas melarang untuk terlibat dalam kegiatan tersebut.
Netralitas birokrasi versus upaya pemenangan parpol dalam pemilu 2009 menjadi isu menarik untuk disikapi oleh berbagai kalangan masyarakat karena politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia saat ini bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik-menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya. Potret birokrasi di Indonesia memang memiliki akar masalah sejarah yang tidak pernah terlepas dari pengaruh politik praktis. Sejak awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi objek dan alat politik. Kita ketahui bahwa di era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, ketika parpol tampil saat itu sebagai aktor sentral dalam sistem politik Indonesia, birokrasi secara masif telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh parpol, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi.
Terjadinya perubahan politik ke era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) pun tidak menghasilkan perubahan mendasar kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik saat itu ditandai tiga konteks: pertama, peranan parpol mulai termarjinalisasikan sebagai aktor utama dalam sistem politik; kedua, menonjolnya figur Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan; dan ketiga, masuknya kekuatan militer secara resmi ke pentas politik, menempati banyak jabatan strategis pemerintahan dari pusat hingga daerah.
Marjinalisasi parpol dalam era Orde Lama itu, penyebabnya tidak terlepas dari sentimen Soekarno dan militer. Stigma negatif terhadap parpol sebagai biang  instabilitas suatu isu yang oleh rezim Orde Baru yang lahir kemudian, kian dipertajam merupakan senjata ampuh dalam proses penyingkiran parpol. Kecuali PKI saat itu satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno. Namun, dalam realitasnya justru yang terjadi pergulatan politik segi tiga (Soekarno, PKI, dan militer), sebagaimana tercermin puncaknya dalam Peristiwa G30S, dengan dampaknya yang juga akhirnya menimbulkan fragmentasi birokrasi.
Terjadinya peralihan ke era rezim Orde Baru (1966-1998) berikutnya pun hanya merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik juga. Perubahan itu antara lain  ditandai dua hal. Pertama, pola konsentrasi kekuatan politik berubah dari polarisasi dan pertarungan antar-parpol dan politisi sipil ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Kedua, proses marjinalisasi parpol secara umum yang terus berjalan seiring dengan tampilnya unsur kekuatan militer yang kian memantapkan posisi sebagai aktor sentral.
Kita ketahui, kelahiran Orde Baru merupakan buah kemenangan militer dengan politik representasinya yang terpusat pada sosok Jenderal Soeharto. Hal ini yang menjadi penyebab militer di masa Orde Baru itu dengan jalan terbuka lebar berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif untuk membungkam setiap gerakan kritis termasuk mahasiswa dan LSM. Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan parpol, tetapi terjebak dalam hegemonisasi kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang didominasi militer.  Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Mirip cara rezim kolonial Belanda dalam memanipulasi aparat birokrasi tradisional atau kalangan pangreh praja yang diintegrasikan ke dalam beamtenstaat (struktur kolonialisme); demikian korps pegawai negeri juga diintegrasikan sebagai mesin politik negara korporatik-otoritarian oleh rezim Orde Baru.
Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralisasi politik birokrasi. Tuntutan reformasi ini sebagian sebenarnya telah direspon oleh rezim pemerintahan pasca-Soeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya, sementara Korpri sendiri disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi. Misalnya, dengan membuat peraturan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi anggota parpol harus berhenti atau diberhentikan dari jabatannya atau cuti jika terlibat dalam parpol. Namun, status sebagai aparat negara dapat diaktifkan lagi jika mereka melepaskan keterikatan sebagai anggota maupun pengurus parpol. Bagian dari aturan  yang sama juga mencakup unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri).
Masalahnya, berbagai langkah reformasi birokrasi pasca Orde Baru tersebut terganjal faktor real politics. Tampaknya birokrasi tetap juga sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh politik praktis, berhadapan pluralisasi kepartaian dan tampilnya politisi atau parpol yang menggantikan peranan dominan militer sebagai aktor utama sistem politik. Gambaran gonjang-ganjing kepartaian yang tak pernah sepi dalam pertarungan kekuasaan dan perebutan kursi mulai dari pusat hingga daerah sejak era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, KH AbdurrahmanWahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jelas menunjukkan fenomena itu.
Di tengah era reformasi dewasa ini yang membuka peluang bagi berkembangnya pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola rekrutmen politik, mirip pengalaman era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di masa lalu, kiranya kita telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan partai dan politisi yang berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintahan. Khususnya di level daerah/lokal dari provinsi hingga kota/kabupaten, realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan penguatannya lewat UU Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah ditinggalkan maupun UU No. 32/2004 yang baru, beserta peraturan pelaksanaannya yang bersemangatkan otonomi daerah.
Di sisi lain, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Untuk konteks Indonesia, perbedaan birokrasi (administrasi negara) dengan pemerintah, memang kurang lazim didengar. Kekeliruan itu membuat peran eksekutif tetap dominan dan berkuasa penuh atas birokrasi beserta sayap-sayapnya yang menjangkau seluruh lembaga-lembaga negara. Ada beberapa pokok pemikiran yang perlu dipertimbangkan dalam menyikapi permasalahan ini, yakni, pertama bahwa pemerintah adalah salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif. Kedua, administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintah. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya, aparat negara bukanlah melulu aparat pemerintah. Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada  menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat. Keempat, netralitas birokrasi yang dimaknai hanya sebatas membebaskan administrasi negara dari intervensi politik (pimpinan partai politik) atau partai politik, sebagaimana dianut Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Partai Politik, merupakan pengertian yang semu. Pemerintah sebagai bagian dari administrasi negara adalah kekuasaan politik, sehingga akan sulit bagi pemerintah untuk tidak mendatangkan pengaruh politik ke dalam birokrasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka selanjutnya tentu yang diharapkan adalah terwujudnya sistem demokrasi yang ideal sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu keterlibatan dari berbagai elemen masyarakat baik itu dari kalangan masyarakat umum, dari pihak akademisi, maupun oleh pemerintah itu sendiri sangat penting adanya.

B.  Solusi
Berdasarkan uraian diatas, maka hemat saya bahwa sebagai solusi dari permasalahan netralitas birokrasi pada Pemilu di Indonesia adalah menyempurnakan kembali aturan perundang-undangan yang sudah ada atau membuat aturan baru yang lebih kuat serta memberlakukan sanksi dengan tegas kepada oknum yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang menyangkut kepegawaian termasuk netralitas mereka dalam pemilu.  Melalui aturan perundang-undangan yang baru, hubungan antara pemerintah dan administrasi negara ditata ulang, sehingga posisi administrasi negara menjadi lebih independen dan netral, utamanya terhadap pemerintah (eksekutif). Dalam konteks reformasi birokrasi, netralitas birokrasi memang bukan jawaban tuntas untuk kebobrokan birokrasi dewasa ini. Netralitas birokrasi hanya salah satu aspek yang harus diperhatikan dari agenda besar reformasi birokrasi. Namun  netralitas birokrasi sangat penting dan perlu mendapatkan prioritas, bahkan menjadi prasyarat bagi percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi itu sendiri.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Konsep Good Governance

Istilah “Governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat (Thoha; 2000, 12).
Konsep governance tidak sekedar melibatkan pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (Rochman, 2000 : 141). Sejalan dengan konsep governance tersebut, Santosa (2008:130) menegaskan bahwa dalam tatanan pengelolaan kepemerintahan, ada tiga pilar governance, yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor Negara dan sektor nonpemerintah dalam suatu kegiatan kolektif (Rochman, 2000:142). Pinto (dalam Widodo, 2008:107) mengatakan bahwa governance adalah praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Lembaga Administrasi Negara (2000:1) mengartikan governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara/pemerintah dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Lebih lanjut, LAN (2000:5) menegaskan bahwa dilihat dari segi functional aspect, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya.
Dalam pengertian yang lebih kompleks, United Nations Development Programme (UNDP), mengemukakan “governance is defined as the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affairs”. Kepemerintahan diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrative untuk me-manage urusan-urusan bangsa. Lebih lanjut, UNDP juga menegaskan “it is the complex mechanisms, process, relationships and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their rights and obligations and mediate their differences” . pemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks sebagai jalan bagi warga Negara (citizens) dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya, dan menengahi atau menfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara mereka (Widodo, 2008:108).
Pengertian governance yang dikemukakan oleh UNDP tersebut, menurut Lembaga Administrasi Negara (2000:5) mempunyai tiga kaki yaitu economic, politic, dan administrative. Economic governance mencakup proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Olehnya itu, economic governance memiliki pengaruh atau implikasi terhadap equity, poverty, dan quality of life. Political governance merujuk pada proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan suatu negara/pemerintah yang legitimate dan authoritative. Karena itu, negara terdiri atas tiga cabang pemerintahan yang terpisah, yaitu legislative, eksekutif, dan yudisial yang mewakili kepentingan politik pluralis dan membolehkan setiap warga negara memilih secara bebas wakil-wakil mereka. Administrative governance adalah system implementasi kebijakan yang melaksanakan sektor publik secara efisien, tidak memihak, akuntabel, dan terbuka.
Dari uraian tersebut, maka unsur utama yang dilibatkan dalam penyelenggaraan kepemerintahan menurut UNDP terdiri atas tiga macam, yaitu the state (negara/pemerintah), the private sector (swasta), dan civil society organization (organisasi masyarakat). Hubungan di antara ketiga unsur utama dalam penyelenggaraan governance tentunya saling mempengaruhi, saling membutuhkan, atau bahkan saling ketergantungan dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik (Widodo, 2008:110)
Berdasarkan batasan definitif di atas, dapat disimpulkan bahwa  pengertian governance adalah suatu proses interaksi yang setara, selaras, dan seimbang antara domain di dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, politik, dan administrasi. Konsekuensi interaksi antar domain ini  menyebabkan bergesernya pola pelayanan sektor publik ke sektor swasta yang sering disebut privatisasi atau swastanisasi.
Konsep good governance sejak tahun 1991 dipromosikan oleh beberapa agensi multilateral dan bilateral seperti JICA, OECD, GTZ (Keban ; 2000, 52). Mereka memberikan tekanan pada beberapa indikator, antara lain : (1) demokrasi, desentralisasi dan peningkatan kemampuan pemerintah; (2) hormat terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku; (3) partisipasi rakyat; (4) efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik; (5) pengurangan anggaran militer; dan (6) tata ekonomi yang berorientasi pasar. OECD dan World Bank (LAN; 2000, 6) mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP dalam workshop yang diselenggarakannya (Widodo; 2001, 24) menyimpulkan “that good governance system are participatory, implying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making”. Namun dalam perkembangan berikutnya lembaga ini (LAN; 2000, 7) memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat (society).   
Lembaga Administrasi Negara (2000, 6) medefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif  dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, good governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Dari beberapa pengertian good governance di atas, maka dapat diidentifikasi indikator-indikator yang terkandung didalamnya, yang merupakan prinsip dasar menurut UNDP (LAN; 2000, 7) sebagai berikut :
·        Participation ; Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun secara intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar keabsahan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
·        Rule of law ; Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
·        Transparancy ; Transparansi dibangun atas dasar keabsahan arus informasi. Proses-proses, lembaga dan informasi yang secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
·        Responsive ; Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
·        Consensus Orientation ; Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
·        Equity ; Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
·        Effectiveness and effeciency ; Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
·        Accountability ; Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
·        Strategic vision ; Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif  good governance dan pengembangan yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Santosa (2008:131), bahwa syarat bagi terciptanya good governance , yang merupakan prinsip dasar, meliputi Partisipatoris, Rule of law (penegakan hukum), Transparansi, Responsiveness (daya tanggap), Konsensus, Persamaan hak, Efektivitas dan Efisiensi, dan Akuntabilitas.
Partisipatoris; setiap pembuatan peraturan atau kebijakan selalu melibatkan unsur  masyarakat (melalui wakil-wakilnya).  Rule of law; harus ada perangkat hukum yang menindak para pelanggar, menjamin perlindungan HAM, tidak memihak, berlaku pada semua warga.  Transparansi; adanya ruang kebebasan untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang membutuhkan (diatur oleh undang-undang). Ada ketegasan antara rahasia negara dengan informasi yang terbuka untuk publik.  Responsiveness; lembaga publik harus mampu merespon kebutuhan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan “basic needs” (kebutuhan dasar) dan HAM.  Konsensus; jika ada perbedaan kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, penyelesaian harus mengutamakan cara dialog/musyawarah menjadi konsensus.  Persamaan hak; pemerintah harus menjamin bahwa semua pihak, tanpa terkecuali, dilibatkan di dalam proses politik, tanpa ada satu pihak pun yang dikesampingkan.  Efektivitas dan efisiensi; pemerintah harus efektif (absah) dan efisien dalam memproduksi output berupa aturan, kebijakan, pengelolaan keuangan negara, dan lain-lain.  Akutabilitas; suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Implementasi akuntabilitas dilakukan melalui pendekatan strategis, yang akan mengakomodasi perubahan-perubahan cepat yang ternjadi pada organisasi dan secepatnya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, sebagai antisipasi terhadap tuntutan pihak-pihak yang berkepentingan. 
Nilai yang terkandung dari pengertian beserta karakteristik good governance tersebut di atas merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999 – 2004, karena itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini perlu adanya akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas.  Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Kondisi semacam ini mensyaratkan bagi siapa saja yang terlibat dalam pembuatan keputusan, baik itu pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat, harus bertanggung jawab kepada publik serta kepada institusi stakeholders. Disamping itu, institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, memberikan fasilitas dan peluang ketimbang melakukan kontrol serta melaksanakan peraturan perundang-undanganan yang berlaku.
Implementasi dari semua indikator good governance tersebut, sangat dibutuhkan sebagai syarat bagi terciptanya pemerintahan yang baik (good governance) serta pemerintahan yang bersih (clean government). Dalam mengimplementasikan indikator di atas, maka salah satu yang dibutuhkan agar dapat mewujudkan kepemerintahan yang baik adalah kreativitas pemimpin dalam melaksanakan fungsi atau peranannya, melalui pola kepemimpinan yang demokratis yang senantiasa menciptakan sinergi antar berbagai elemen pembangunan secara optimal.
            Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid yang bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan, interaksi yang positif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat atau civil society organization.