Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 November 2011

SAP Teori Pembangunan

SATUAN ACARA PERKULIAHAN
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2011/2012
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

-            Mata Kuliah                      : Teori-Teori Pembangunan
-            No. Kode MK                  :
-            Bobot SKS                       : 3 (Tiga)
-            Semester                           : 3 (Tiga)
-            Fak./Prodi/Program           : FISIPOL / Ilmu Pemerintahan  / S-1
-            Jadwal Kuliah                    : Mid Tes;        - Rabu, 9 November 2011
- Jumat, 11 November 2011
  Final Tes;       - Selasa, 20 Desember 2011
- Kamis, 22 Desember 2011
-            Jam Perkuliahan                 : 10.30 – 13.30  Wita.
-            Dosen Pengampu               : 1. Dra. Suryani BB, M.Si
   2. Drs.Rasidin, MPA
                                                  

  Rencana Jadwal Kuliah Mingguan :
Per-temuan
Ke,
Tgl.
Dosen Pengampu
Pokok Bahasan/ Sub Pokok Bahasan
Metode/ Kegiatan





1






9
Nov’11






Dra. Suryani, M.Si
A. Pengertian dan Ruang
     Lingkup teori Pembangunan
1.    Pengertian Pembangunan
2.    Ruang Lingkup Pembangunan
3.    Konsep-konsep pembangunan
4.    Paradigma dan teori Pembangunan




Ceramah, Diskusi,  Tanya jawab, dan penugasan

B.  Peran Negara dan Masyarakat dalam pembangunan ;
1.    Pembanguna di dunia ketiga
2.    peran Negara/pemerintah dalam pembangunan
3.    Peran masyarakat sebagai pelaku pembangunan





2





11
Nov’11




Dra. Suryani, M.Si
C.  Perkembangan Teori Pembangunan ;
1.    Perkembangan teori Pembangunan
2.    Dasar Pemikiran dan pencetus teori-teori Pembangunan

Ceramah, Diskusi, Tanya jawab, dan Penugasan
(Pemberian Soal Mid Tes).
D. Teori Modernisasi
1.    Teori Harrod-Domar: Taabungan dan Insvestasi
2.    Max Weber:Etika protestan
3.    Teori David McClelland: Dorongan Berpr estasi atau n-Ach.
4.    W.W.Rostow:Lima Tahap Pembangunan
5.    Bert F. Hoselitz:Faktor-faktor Non-ekonomi
6.    Alex Inkelas dan David H. Smith: Manusia modern




3




20 Des’11




Drs. Rasidin, MPA
E. Teori struktual ;
1.    Raul Prebisch (ekonomi liberal)
2.    Teoriteori Marxis tentang imperalisme dan kolonialisme dan Paul Baran


Ceramah, Diskusi, dan Tanya jawab, Penugasan

F. Teori Ketergantungan ;
1.    Teori Ketergantungan Klasik
2.    Kritik Terhadap Teori Ketergantungan
G. Teori Pasca Ketergantungan ;
1. Teori Sistem Dunia
2. Teori Liberal
3. Teori Artikulasi
4. Teori Neo-Liberalisme

        4
22 Des’11


Drs. Rasidin, MPA
H. Teori Pembangunan
     Berkelanjutan ;
1.    Prinsip lingkungan/ekologi (perlindungan ekosistem)
2.    Prinsip sosio-politik (memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan; keterlibatan masyarakat; pemerintahan yang transparan)
Ceramah, Diskusi, Tanya jawab, dan Penugasan
(Pemberian Soal  Final Tes).




I.   Teori Pembangunan Manusia ;
1. Pemberdayaan (empowerment)
2. kerjasama (cooperation)
3. Kesetaraan (equity)
4. Keberlangsungan (sustainability)
5. Keamanan (security)


                                                                                                  Kendari,     November  2011
                                                                                                  Ttd,


                                                                                                  Dosen Pengampu  MK

NETRALITAS BIROKRASI PADA PEMILU DI INDONESIA


A.  Permaslahan

Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi pemerintahan. Proses transisi ini telah menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya.
Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi (bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya tanggung jawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan sosial.  Masalah politisasi birokrasi tetap menjadi isu krusial dalam pemilihan umum khususnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kekhawatiran publik terhadap keberpihakan birokrasi memang tidak berlebihan karena institusi ini sangat rentan dan mudah menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Terbukti masalah netralitas ini kembali marak dipertanyakan ketika muncul isu terjadinya mobilisasi PNS di Bali dalam rangka kampanye PDI-P menjelang pemilu legislatif bulan April 2004. Bahkan makin mencuat lagi ketika disinyalir adanya kampanye terselubung birokrat untuk mendukung salah satu calon presiden dalam pemilu putaran kedua, 20 September 2004 yang lalu.
Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwa Undang-undang dan peraturan tentang birokrasi/PNS ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah upaya penyelewengan fungsi birokrasi. Kecenderungan birokrat atau partai yang memerintah (apapun partainya) untuk menggunakan mesin birokrasi sebagai alat yang efektif untuk mendapatkan dukungan suara dalam pilkada sulit dicegah. Peluang reformasi birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan yang tidak pernah absen untuk senantiasa menggunakan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pilkada.
Dengan sistem multi partai tidak tertutup kemungkinan konflik kepentingan di birokrasi akan makin menajam. Selain itu, gambaran belakangan ini menunjukkan bahwa disorientasi PNS ternyata masih berlangsung, PNS cenderung bersikap pragmatis dan memihak partai yang berkuasa. Hal ini bila diteruskan akan menghilangkan makna birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat dan bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, prospek reformasi birokrasi pasca pemilu 2004 tergantung seberapa besar komitmen elit birokrat dan pimpinan negara untuk mereformasi birokrasi, sehingga mampu menghapus kesan bahwa komitmen mereka cenderung longgar dan pragmatis.
Lepas dari tantangan besar yang masih dihadapi birokrasi untuk menjadi profesional, netral, akuntabel dan partisipatif, secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi di era transisi cenderung menciptakan birokrasi yang plural yang ditandai dengan makin pluralnya sistem politik di mana sistem ini lebih terbuka terhadap pengaruh kekuatan sosial (societal forces) dalam masyarakat. Salah satu indikator penting dari ciri pluralisme birokrasi adalah tak satu pun kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah tak mendapatkan sorotan atau kritikan dari masyarakat. Meskipun tak semua keberatan publik dapat menggagalkan kebijakan pemerintah, namun sebagian terpaksa mengalami penundaan karena resistensi yang besar dari masyarakat. Penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia yakni pemilihan umum legislatif (DPR, DPD, DPRD Prov & DPRD Kab/Kota) diberbagai daerah sangat jelas diwarnai dengan keterlibatan para pegawai negeri sipil yang terang-terangan melakukan kampanye politik tanpa mempedulikan berbagai aturan yang sangat jelas melarang untuk terlibat dalam kegiatan tersebut.
Netralitas birokrasi versus upaya pemenangan parpol dalam pemilu 2009 menjadi isu menarik untuk disikapi oleh berbagai kalangan masyarakat karena politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia saat ini bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik-menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi memberi pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya. Potret birokrasi di Indonesia memang memiliki akar masalah sejarah yang tidak pernah terlepas dari pengaruh politik praktis. Sejak awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi objek dan alat politik. Kita ketahui bahwa di era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, ketika parpol tampil saat itu sebagai aktor sentral dalam sistem politik Indonesia, birokrasi secara masif telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh parpol, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi.
Terjadinya perubahan politik ke era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) pun tidak menghasilkan perubahan mendasar kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik saat itu ditandai tiga konteks: pertama, peranan parpol mulai termarjinalisasikan sebagai aktor utama dalam sistem politik; kedua, menonjolnya figur Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan; dan ketiga, masuknya kekuatan militer secara resmi ke pentas politik, menempati banyak jabatan strategis pemerintahan dari pusat hingga daerah.
Marjinalisasi parpol dalam era Orde Lama itu, penyebabnya tidak terlepas dari sentimen Soekarno dan militer. Stigma negatif terhadap parpol sebagai biang  instabilitas suatu isu yang oleh rezim Orde Baru yang lahir kemudian, kian dipertajam merupakan senjata ampuh dalam proses penyingkiran parpol. Kecuali PKI saat itu satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno. Namun, dalam realitasnya justru yang terjadi pergulatan politik segi tiga (Soekarno, PKI, dan militer), sebagaimana tercermin puncaknya dalam Peristiwa G30S, dengan dampaknya yang juga akhirnya menimbulkan fragmentasi birokrasi.
Terjadinya peralihan ke era rezim Orde Baru (1966-1998) berikutnya pun hanya merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik juga. Perubahan itu antara lain  ditandai dua hal. Pertama, pola konsentrasi kekuatan politik berubah dari polarisasi dan pertarungan antar-parpol dan politisi sipil ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Kedua, proses marjinalisasi parpol secara umum yang terus berjalan seiring dengan tampilnya unsur kekuatan militer yang kian memantapkan posisi sebagai aktor sentral.
Kita ketahui, kelahiran Orde Baru merupakan buah kemenangan militer dengan politik representasinya yang terpusat pada sosok Jenderal Soeharto. Hal ini yang menjadi penyebab militer di masa Orde Baru itu dengan jalan terbuka lebar berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif untuk membungkam setiap gerakan kritis termasuk mahasiswa dan LSM. Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan parpol, tetapi terjebak dalam hegemonisasi kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang didominasi militer.  Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Mirip cara rezim kolonial Belanda dalam memanipulasi aparat birokrasi tradisional atau kalangan pangreh praja yang diintegrasikan ke dalam beamtenstaat (struktur kolonialisme); demikian korps pegawai negeri juga diintegrasikan sebagai mesin politik negara korporatik-otoritarian oleh rezim Orde Baru.
Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralisasi politik birokrasi. Tuntutan reformasi ini sebagian sebenarnya telah direspon oleh rezim pemerintahan pasca-Soeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya, sementara Korpri sendiri disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi. Misalnya, dengan membuat peraturan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi anggota parpol harus berhenti atau diberhentikan dari jabatannya atau cuti jika terlibat dalam parpol. Namun, status sebagai aparat negara dapat diaktifkan lagi jika mereka melepaskan keterikatan sebagai anggota maupun pengurus parpol. Bagian dari aturan  yang sama juga mencakup unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri).
Masalahnya, berbagai langkah reformasi birokrasi pasca Orde Baru tersebut terganjal faktor real politics. Tampaknya birokrasi tetap juga sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh politik praktis, berhadapan pluralisasi kepartaian dan tampilnya politisi atau parpol yang menggantikan peranan dominan militer sebagai aktor utama sistem politik. Gambaran gonjang-ganjing kepartaian yang tak pernah sepi dalam pertarungan kekuasaan dan perebutan kursi mulai dari pusat hingga daerah sejak era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, KH AbdurrahmanWahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jelas menunjukkan fenomena itu.
Di tengah era reformasi dewasa ini yang membuka peluang bagi berkembangnya pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola rekrutmen politik, mirip pengalaman era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di masa lalu, kiranya kita telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan partai dan politisi yang berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintahan. Khususnya di level daerah/lokal dari provinsi hingga kota/kabupaten, realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan penguatannya lewat UU Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah ditinggalkan maupun UU No. 32/2004 yang baru, beserta peraturan pelaksanaannya yang bersemangatkan otonomi daerah.
Di sisi lain, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Untuk konteks Indonesia, perbedaan birokrasi (administrasi negara) dengan pemerintah, memang kurang lazim didengar. Kekeliruan itu membuat peran eksekutif tetap dominan dan berkuasa penuh atas birokrasi beserta sayap-sayapnya yang menjangkau seluruh lembaga-lembaga negara. Ada beberapa pokok pemikiran yang perlu dipertimbangkan dalam menyikapi permasalahan ini, yakni, pertama bahwa pemerintah adalah salah satu cabang kekuasaan dalam konsep trias politika yang dikenal dengan eksekutif. Kedua, administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas pemerintah. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya, aparat negara bukanlah melulu aparat pemerintah. Ketiga, penyatuan administrasi negara dengan administrasi pemerintah dapat mengakibatkan administrasi negara cenderung melayani kekuasaan, daripada  menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat. Keempat, netralitas birokrasi yang dimaknai hanya sebatas membebaskan administrasi negara dari intervensi politik (pimpinan partai politik) atau partai politik, sebagaimana dianut Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Partai Politik, merupakan pengertian yang semu. Pemerintah sebagai bagian dari administrasi negara adalah kekuasaan politik, sehingga akan sulit bagi pemerintah untuk tidak mendatangkan pengaruh politik ke dalam birokrasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka selanjutnya tentu yang diharapkan adalah terwujudnya sistem demokrasi yang ideal sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu keterlibatan dari berbagai elemen masyarakat baik itu dari kalangan masyarakat umum, dari pihak akademisi, maupun oleh pemerintah itu sendiri sangat penting adanya.

B.  Solusi
Berdasarkan uraian diatas, maka hemat saya bahwa sebagai solusi dari permasalahan netralitas birokrasi pada Pemilu di Indonesia adalah menyempurnakan kembali aturan perundang-undangan yang sudah ada atau membuat aturan baru yang lebih kuat serta memberlakukan sanksi dengan tegas kepada oknum yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang menyangkut kepegawaian termasuk netralitas mereka dalam pemilu.  Melalui aturan perundang-undangan yang baru, hubungan antara pemerintah dan administrasi negara ditata ulang, sehingga posisi administrasi negara menjadi lebih independen dan netral, utamanya terhadap pemerintah (eksekutif). Dalam konteks reformasi birokrasi, netralitas birokrasi memang bukan jawaban tuntas untuk kebobrokan birokrasi dewasa ini. Netralitas birokrasi hanya salah satu aspek yang harus diperhatikan dari agenda besar reformasi birokrasi. Namun  netralitas birokrasi sangat penting dan perlu mendapatkan prioritas, bahkan menjadi prasyarat bagi percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi itu sendiri.